PEKANBARU - Sejumlah Kepala Desa (Kades) dan tokoh masyarakat dari tiga kenegerian di Kuantan Singingi (Kuansing) mendatangi Kantor DPRD Provinsi Riau untuk melaporkan PT Duta Palma Nusantara (DPN) yang tak kunjung memiliki itikad baik dengan masyarakat.

Perwakilan Masyarakat ini diterima langsung oleh Ketua DPRD Riau, Yulisman dan Wakil Ketua DPRD Riau, Syafaruddin Poti beserta Anggota DPRD Riau Dapil Inhu Kuansing, Marwan Yohanis.

Usai pertemuan, Marwan mengatakan, hari ini pihaknya kedatangan sekitar 24 perwakilan desa yang berkonflik dengan PT Duta Palma. Pada dasarnya, masyarakat menginginkan supaya konflik ini segera diselesaikan karena sudah sangat berlarut-larut.

Dikatakan Politisi Gerindra ini, terjadi kesalahan anggapan, dimana ada yang menyebut bahwa masyarakat menyerobot lahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan. Padahal, faktanya perusahaan lah yang menyerobot lahan masyarakat.

Kemudian, sambung Marwan, perusahaan juga memaksa supaya masyarakat yang memiliki lahan di dalam HGU harus menjual lahannya dengan harga Rp 70 juta perhektar. Jika masyarakat tidak mau, perusahaan akan membuat parit gajah ukuran 4x5 meter.

Terkait alasan perusahaan yang menyebut tawaran penjualan lahan dikarenakan sering terjadi pencurian buah sawit dan aktivitas PETI, Marwan menyebut itu ranah pidana dan silahkan saja perusahaan melaporkan ke pihak kepolisian.

Untuk menindaklanjuti ini, DPRD Riau akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelesaikan semua konflik lahan. Jadi tidak hanya untuk Duta Palma saja, tapi juga untuk semua perusahaan yang tengah berkonflik.

"Saya bangga juga sama kawan-kawan, saat mereka tahu ada rencana pembentukan Pansus ini, banyak yang menelpon saya untuk siap memberikan tandatangannya, dan semua fraksi sudah menyatakan setuju," katanya, Rabu (15/9/2021).

Sementara itu, salah seorang Tokoh Masyarakat, Diski Mansyur, menceritakan, konflik ini sudah terjadi sejak tahun 1993. Bahkan, perusahaan sudah melanggar komitmen dengan masyarakat.

GoRiau Tokoh Masyarakat, Diski Mansyu
Tokoh Masyarakat, Diski Mansyur.

"Kami sudah perlihatkan ke mereka keabsahan kepemilikan kami atas tanah ini, kami bahkan punya peta tahun 1891. Tapi Pemda waktu itu tak mendukung sepenuhnya, hingga terjadi konflik pada tahun 1998. Konflik ituu dikarenakan perusahaan yang tak memenuhi janjinya membuatkan kami kebun dengan pola Koperasi Primer Untuk Anggota (KPPA) seluas 2025 hektar di HGU mereka," jelasnya.

Tapi pada tahun 1999, pihak perusahaan malah melakukan 'sulap' dengan membuat kesepakatan dengan ninik mamak setempat dengan membayar uang sebesar Rp 175 juta untuk satu kenegerian. Dan uang itu kemudian disebut uang sagu hati bukan uang ganti rugi.

"Sekarang kami sampaikan ke wakil rakyat untuk meminta kebijaksanaannya. Jangan sampai penduduk tempatan diancam oleh mereka. Sekarang kondisinya, bahkan ada rumah yang tidak bisa mensertifikatkan tanahnya karena masuk HGU perusahaan, padahal itu tanah ulayat," tutupnya. ***