PEKANBARU - Alokasi anggaran yang dimiliki para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dilabeli dengan  pokok-pokok pikiran (pokir) dewan diduga disalahgunakan menjadi ''korupsi gaya baru''. Pasalnya, ada ''bagi-bagi persentase'' uang yang nilainya dihitung dari nilai proyek atau kegiatan.

Mantan Ketua Umum Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD) Riau, M Nasir Day kepada GoRiau.com, Selasa (22/11/2022) mengatakan, Pokir yang seyogyanya untuk mensinkronkan kegiatan antara eksekutif dan legislatif justru dimanfaatkan untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Menurutnya, pokir awalnya memang ditujukan untuk pembangunan di masing-masing daerah pemilihan legislator, tetapi belakangan, dalam pelaksanaannya, kerap ada penyimpangan. Diantaranya, deal ataupun uang fee dari rekanan atau dinas untuk oknum DPRD yang memiliki pokir tersebut.

”Biasanya fee itu 5 hingga 20 persen jika paket diserahkan ke OPD (organisasi perangkat daerah) teknis sesuai ketentuan dan mekanisme. Jadi, pemilik pokir hanya dapat fee paling banyak lima persen dari nilai kontrak,” ujarnya.

Namun apabila dikerjakan sendiri, imbuhnya, bisa mendapatkan keuntungan lebih besar, bahkan hingga 25-30 persen dari nilai kontraknya. Namun jika pekerjaan fisik seperti irigasi dan semenisasi, keuntungan yang didapat lebih besar karena dikerjakan sendiri.

Untuk menghindari persoalan hukum di kemudian hari, lanjutnya, biasanya proyek itu dikerjakan dengan perusahaan pinjaman. ”Biasanya pinjam perusahaan orang lain. Jadi, oknum anggota DPRD itu tinggal bayar fee sewa perusahaan saja kepada pemilik perusahaan,” katanya.

Namun, lanjut dia, jika proyek itu dikerjakan rekanan yang merupakan utusan oknum pemilik aspirasi, biasanya paling banyak fee-nya antara 15 sampai 20 persen dari nilai kontrak.

Menurut Nasir Day, pokir adalah modus baru untuk korupsi oknum anggota DPRD. Inilah satu ekses negatif sistem pemilu legislatif di Indonesia yang membutuhkan biaya besar untuk memperoleh suara agar terpilih di legislatif.

Fungsi dewan, sebutnya, ada tiga yakni legislasi, budgeting, pengawasan. Alokasi dana DPRD yang menentukan, tapi janganlah sampai teknis ikut mengaturnya. ‘’Pokirnya membuat pagar, dia juga yang mengatur, dia menentukan kontraktornya, asal mau bayar fee di depan sampai 15 persen,’’ ungkapnya.

Sebenarnya, pokir bisa dialihkan pada kegiatan Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika). ‘’Nah, pada saat sosialisasi mungkin ada bantuan berbentuk migor dan sembako, langsung menyentuh konstituen,’’ tutupnya.

Pejabat Mengeluh

Sementara itu, informasi yang dirangkum GoRiau.com, para pejabat di dinas juga mulai mengeluhkan Pokir para anggota DPRD baik di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten. Pasalnya, hampir semua proyek dan kegiatan yang tertuang dalam APBD, seluruhnya menjadi Pokir.

''Kami sebenarnya bingung juga, hampir semua kegiatan di dinas kami diakui sebagai Pokir. Jadi nggak ada lagi kegiatan yang tak masuk Pokir. Tidak dikerjakan gimana, dikerjakan susah juga,'' ujar salah seorang pengguna anggaran yang tidak mau disebutkan namanya.

Dijelaskannya, umumnya yang mengurus Pokir di OPD-nya bukanlah langsung anggota dewan, melainkan utusan saja baik kontraktor maupun tenaga ahli (TA). ''Kami takut suatu saat ini jadi temuan. Tapi bagaimanalah, kami pegawai, posisi kami serba salah,'' ujarnya.

Bahkan, tambahnya, yang masuk ke kegiatan Pokir bukan hanya kegiatan fisik tapi juga ke non fisik, bahkan sebagian anggaran iklan, advertorial dan galeri foto yang dulunya kegiatan langsung instansi ke media, juga sudah ada yang menjadi Pokir. (kl3)