BAGANSIAPIAPI, GORIAU.COM - Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau mengaku kesulitan ketika melakukan pemeriksaan data tenaga kerja yang bekerja di perkebunan sawit di Rohil. Padahal, data itu sangat diperlukan mengingat banyak terjadi pemutusan hubungan kerja sepihak yang merugikan karyawan itu sendiri.

Menurut keterangan Kepala Disnaker Rohil, M.Arsyad,SH didampingi Jefrizal Libra,S.Sos yang menjabat Kabid Norma dan Syarat Kerja, yang paling banyak melanggar aturan ketenaga kerjaan adalah pemilik kebun perorangan. Jumlah mereka sangat banyak dan menguasai ratusan hektar kebun sawit.

Mereka juga memperkerjakan tenaga kerja tanpa membuat kontrak atau hubungan kerja dengan karyawannya. Terlebih lagi, karyawan yang mereka pekerjakan juga tidak terdaftar di Disnaker.

"Salah satunya yang melanggar aturan ketenagakerjaan adalah pemilik perkebunan Simarmata di Kepenghuluan Pematang Botam. Kita sudah menyurati mereka karena memecat salah seorang karyawannya tanpa alasan yang jelas. Kemudian karyawan tersebut mengadu kepada kita," Kata Jefrizal Kepada GoRiau,com, Kamis (5/11/2015) di ruang kerjanya.

Surat yang dilayangkan, sambungnya, sampai sekarang tidak mendapat balasan. Bahkan Simarmata sengaja mengabaikan panggilan Disnaker. Padahal, kita hanya ingin menanyakan perihal karyawannya bernama Riduan yang dipecat tanpa mendapat pesangon. Karena dia sudah bekerja selama 4 tahun lebih.

Jefrizal mengakui, kelemahan Disnaker selama ini karena tidak pernah melakukan inspeksi baik keperusahaan maupun pemilik perkebunan yang ada di Rohil secara bersama-sama dengan Dinas Perkebunan. Padahal jumlah pemilik perkebunan perseorangan di Rohil, mencapai ratusan orang. Bahkan mereka menguasai lahan kebun mencapai 300 hektare lebih.

Apa yang disampaikan Jefrizal Libra, dibenarkan Mawardi yang menjabat Kabid Evaluasi dan Pelaporan di dinas perkebunan. Dia mengungkapkan, jumlah pemilik kebun perseorangan di Rohil, mencapai ratusan orang. Mereka mengusai lahan mencapai ratusan hektar. Dari sisi administrasi perizinan, sebenarnya sudah jelas menyalahi aturan. Karena dalam aturannya, setiap warga yang memiliki lahan perkebunan sawit diatas 25 hektare harus berbadan hukum.

Tapi kenyataan yang dihadapi bertolak belakang apa yang terjadi dilapangan. Mereka selain tidak menempatkan kantor dilokasi perkebunan, rekrutmen tenaga kerja juga tidak melaporkan kepada Disnaker.

"Biasanya mereka menguasai lahan ratusan hektare berkat kerjasama dengan aparatur desa setempat. Surat tanah yang mereka miliki sengaja dipecah masing masing 1 surat tanah, luasnya 2 hektare. Jika ditelusuri, nama pemiliknya adalah fiktif. Tujuannya, untuk mengelabui pemerintah setempat," kata Mawardi.

Dia mengatakan, dari pengalaman Dinas perkebunan selama melakukan inspeksi kepemilik perkebunan perseorangan, dinas sendiri hanya dapat bertemu dengan karyawannya. Sedangkan pemiliknya jarang ditempat.

Mereka kebanyakan berada diluar kota seperti di Jakarta, Sumut dan Pekanbaru. Kondisi seperti itu sangat menyulitkan dinas Perkebunan untuk mendata mereka.(amr)