BERITA mengenai pengajuan SK Demokrat kubu Moeldoko yang ditolak Kemenkumham kembali menjadi perbincangan hangat di arena politik nasional. Pengumuman yang disampaikan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoli ini seakan menjadi titik terang bagi kubu AHY. Ini semakin menjelaskan kepada publik dan seluruh konstituen demokrat bahwa ia adalah Ketua Umum Demokrat yang sah.

Peristiwa ini memantik banyak pengamat politik untuk mengemukakan argumentasinya. Ada yang beragurmen pada posisi untuk mendukung Moeldoko dan tentunya ada yang terkesan mendukung AHY yang memang secara kontekstual lebih masuk akal. Namun lupakan itu semua. Saya disini cuma ingin menerka-nerka apa langkah yang dilakukan Moeldoko kedepannya, pasca pengajuan SK kepengurusannya ditolak oleh Kemenkumham.

Mengajukan gugatan ke PTUN

Ini adalah langkah awal yang hampir pasti dilakukan oleh Demokrat Kubu Moeldoko saat ini. Ini juga mengikuti saran dari Menkumham bahwa jika tidak terima mengenai keputusan ini, silahkan ajukan gugatan ke pengadilan. Pengadilan yang akan dituju Moeldoko adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengingat poin penting yang menjadi pokok bahasan adalah AD/ART Demokrat tahun 2020 hasil dari Kongres Bali dianggap tidak sah karena ada pelanggaran terhadap UU Partai Politik.

Saya yakin mulai detik ini Moeldoko memerintahkan seluruh loyalisnya untuk segera mencari celah hukum agar bisa menang nanti di PTUN. Namun tentu jalan ini tidak semudah membuat Indomie Goreng. Jalan ini akan panjang karena andaikan menang, pasti akan ada banding yang dilakukan oleh kubu Demokrat AHY. Dan ini kemudian bisa memakan waktu yang sangat lama.

Mencoba mengambilalih partai lain

Jika memang tujuannya Moeldoko mengambil alih Demokrat AHY adalah untuk mendapatkan tiket berkontestasi di Pilpres 2024, maka bisa saja Moeldoko mulai saat ini memikirkan untuk mengambil alih partai lainnya yang juga cukup menggiurkan secara jumlah kursi di parlemen. Namun jika menilik mengenai parpol yang ada sekarang, sangat beresiko bagi Moeldoko untuk mencoba melakukan penetrasi ke parpol pendukung pemerintahan Jokowi.

PDIP, Gerindra, Golkar, PPP, PKB dan Nasdem adalah partai penyokong pemerintahan Jokowi saat ini. Saya yakin, akan sangat keblinger kalau Moeldoko mencoba mengotak-atik partai tersebut. Saya pastikan, dalam hitungan kurang dari 24 jam, Moeldoko akan langsung dikeluarkan dari Kabinet Indonesia maju dan kemudian ia bermetamorfosis menjadi bapak-bapak pensiunan jenderal pada umumnya.

Jadi kesempatan cuma ada untuk mencoba partai lain yang ada diluar pemerintahan. Ada PKS dan PAN yang kemudian bisa jadi target Moeldoko selanjutnya. Namun saya juga menyarankan Moeldoko untuk mengurungkan niat ini.

PKS adalah salah satu partai yang sangat kuat secara organisasi. Jika Moeldoko melirik PAN, harap untuk langsung mengurungkan niat tersebut mengingat saat ini PAN juga sedang dalam proses rekonsolidasi internal paska pendirinya yakni Amien Rais membuat partai baru bernama partai UMMAT. Oh ya, pak Moeldoko bisa meniru pak Amien Rais ini yang bahkan ia sebagai sesepuh partai PAN saja tidak mau mengobrak-abrik partai yang telah diperjuangkannya dulu. Ia membuat partai baru dibanding dengan mencoba merebut PAN dimana besannya yang menjadi ketua umumnya.

Harapan yang tersisa adalah dengan merebut partai lain yang ada diluar parlemen layaknya PKPI, Partai Idaman, PBB, Perindo, atau Partai Hanura yang dimana dulunya Moeldoko pernah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan di dalamnya. Namun tentu ini tidak memberi kesempatan dan harapan besar untuk pak Moeldoko mendapat tiket di Pilpres 2024.

Membuat Partai Baru

Sebenarnya langkah ini adalah langkah yang mungkin bisa menjadi alternatif lain jika Moeldoko hendak bersaing pada pilpres 2024. Moeldoko bisa menggerakkan semua loyalisnya yang ada sekarang untuk bergotong-royong membentuk partai baru, semisal bernama partai New Demokrat, Demokrat Revisi atau Demokarat final (emangnya dokumen skripsi). Partai ini kemudian akan bersaing di pileg 2024 yang kemungkinan besar akan dilaksanakan sebelum pilpres (tidak serentak seperti 2019).

Dan ini bisa jadi ajang pembuktian bagi Moeldoko untuk membuktikan bahwa sosoknya bisa mendongkrak suara partai yang nanti pada akhirnya bisa membawa dia ke panggung Pilpres. Moeldoko seharusnya sadar bahwa cara ini pernah berhasil di waktu mantan atasannya, yakni SBY yang mencalonkan diri di Pilpres 2004 yang kemudian mengantarkannya menjadi presiden 2 periode.

Menurut saya, Moeldoko seharusnya bisa lebih sukses dibanding SBY mengingat ia adalah purnawirawan Jenderal bintang 4 penuh cum eks Panglima TNI dibandingkan dengan bintang 4 SBY yang merupakan jenderal kehormatan karena tidak sampai pada posisi Kasad bahkan Panglima TNI layaknya Moeldoko.

Mempertahankan posisi di Istana dan bersiap bercocok tanam di kampung halaman

Langkah yang tidak kalah penting bagi Moeldoko adalah untuk mempertahankan dengan sekuat tenaga posisi ia sebagai orang istana. Mengingat bisa jadi Jokowi akan mengganti posisinya kapanpun ia mau. Kepala Staf presiden adalah jabatan vital di Istana yang mengharuskan konsentrasi penuh bagi siapa yang menjabatnya  karena ini berkaitan dengan akselerasi program prioritas presiden.

Jokowi saat ini sedang sangat sibuk mengurusi pembangunan nasional yang dihadapkan dengan masalah Covid-19 yang membuat aktifitas ekonomi jalan di tempat. Jokowi tentunya tidak ingin kinerja kabinetnya terganggu hanya karena permasalah politik salah seorang anggota di kabinetnya.

Jokowi juga seharusnya bisa berfikir bahwa ia suatu saat bisa ada di posisi SBY saat ini sebagai mantan atasan Moeldoko. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti, trah politik penerusnya bisa diganggu dengan alasan yang bisa saja berbeda atau bahkan sama. Posisi Moeldoko di era SBY dan era Jokowi sama pentingnya yakni salah satu orang yang berada di ring satu kekuasaan presiden. Sudah saatnya Jokowi bersih-bersih jika tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali.

Jika memang akhirnya Moeldoko direshuffle oleh Jokowi, maka bersiap-siaplah bagi Moeldoko untuk mengikuti jejak hidup banyak purnawirawan jenderal yang ingin hidup tenang di hari tuanya yakni dengan bercocok tanam di kampung halaman. ***

* Agung Wicaksono adalah Mahasiswa S3 Ilmu Politik Corvinus University of Budapest dan dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau.