SELATPANJANG - Pakar lingkungan DR Elviriadi SPi MSi mengatakan bahwa tahun 2017 ini merupakan momen kebangkitan hutan di Provinsi Riau. Lalu, dengan kebangkitan hutan di Provinsi Riau, merupakan langkah awal untuk bebas kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) selamanya.

Hal itu diungkapkan pakar lingkungan UIN Suska, DR Elviriadi SPi MSi, ketika berbincang-bincang dengan GoRiau, Minggu (26/2/2016) malam.

Kata Elviriadi, Ia baru saja berdiskusi dengan Ricardo, divisi Hukum HuMa (perkumpulan untuk hukum berbasis masyarakat dan ekologis), Kamis (23/2/2017) di Hotel Cokro Pekanbaru. Ricardo mengatakan, hutan yang dikelola secara adat se-Kabupaten Kampar bisa diusulkan menjadi hutan adat oleh Kemen-LHK. Sebab, sejak tahun 1999 yang lalu sudah ada Perda Hak Ulayat.

"Syaratnya, ya harus ada peta wilayah adat," ungkap dosen Fapertapet UIN ini.

Dijelaskan Elviriadi, Desember 2016 lalu, MenLHK sudah meng-SK kan 9 hutan adat atas usulan HuMa. Sayangnya, Provinsi Riau yang paling banyak hutannya belum satu pun mendapat hutan adat.

"Alhamdulillah, saya sudah kontak Masriadi ketua yayasan pelopor yang mengelola Hutan Larangan Desa Rumbio, Desa Siabu, dan Buluh Cina. Jika ditotal bisa ribuan hektar. Untuk syarat peta wilayah adat, saya udah hubungi Akhwan dari Yayasan Hakiki, Nursyamsu Eye on The Forest dan itu tidak terlalu sulit," ungkap anak watan Kabupaten Kepulauan Meranti itu lagi.

Elviriadi juga sempat menyinggung hutan yang ada di Kabupaten Kepulauan Meranti, tepatnya di Kecamatan Tebingtinggi Barat. Katanya, setelah Ia melakukan survei di Kecamatan Tebingtinggi Barat, ada ribuan hektar hutan alam yang bisa dijadikan hutan adat.

Untuk mewujudkan itu, Elv mengatakan Ia akan segera menghubungi Ketua Lembaga Adat Melayu di Selatpanjang, sedangkan untuk membuat perda hak ulayat akan dibicarakan dengan Bupati Kepulauan Meranti Drs H Irwan MSi. "Kita harap Bupati Irwan mendukung," ujarnya.

Dengan adanya peluang dan potensi yang begitu besar, tambah Elviriadi, dalam 5 tahun ke depan, hutan di Provinsi Riau bisa pulih kembali. Kemudian, kawasan tangkapan air juga akan mencukupi untuk menghindarkan Karhutla selama-lamanya.

"Jadi, solusi Karhutla bukan canal blocking yang tak berdasar itu, melainkan rehabilitasi hutan dan daerah serapan air," tukas pria bertubuh tambun yang  akan terbang ke Johannesberg untuk bicara lingkungan April mendatang.

Di samping itu pula, Ia meminta Pansus Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Provinsi Riau untuk tidak cepat-cepat membuat pengesahan. Setidaknya, Pansus RTRW harus memberi kesempatan 3 minggu lagi untuk teman-teman bekerja mengurus hutan adat melayu, karena dalam SK 878 Menhut, statusnya areal peruntukan lain (APL).

"Sebenarnya lingkungan dan hutan Riau ini bisa dipulihkan. Asal, ada yang rela berkorban waktu, tenaga, dan dana pribadi harus keluar," kata Elviriadi mengakhiri bincang-bincang. *** #Semua Berita Kep Meranti, Klik di Sini