PEKANBARU, GORIAU.COM - Pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di Provinsi Riau rawan melahirkan pemimpin korup. Sebab, sebagian pemilih di daerah ini tidak rasional dalam memilih pasangan calon kepala daerah.

Demikian pendapat pengamat hukum dari Universitas Riau Dr Mexasai, saat menjadi narasumber pada diskusi bertajuk ''Pemilukada dan Korupsi'', yang ditaja Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Riau (UIR) bekerja sama dengan Forum Diskusi Publik (FDP), di aula Fikom UIR), Sabtu (22/8/2015). ''Sebagian pemilih masih irasional dalam menjatuhkan pilihannya. Pertimbangan mereka memilih pasangan calon kepala daerah, tidaklah berdasarkan kualitas dan bersihnya pasangan calon, melainkan ditentukan kompensasi yang mereka terima secara langsung dari tim sukses pasangan calon kepala daerah,'' kata Mexasai.

Selain Mexasai, pada diskusi yang dibuka Rektor UIR Prof Dr Detri Karya itu, juga hadir sebagai narasumber pengamat kebijakan publik dari UIR Dr H Ahmad Tarmizi Yusa, calon Wakil Bupati Pelalawan H Abdul Anas Badrun, Sekretaris Satuan Khusus Penanganan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Tinggi Riau Dr Zulkifli, SH MH dan Kanit 2 Tipikor Polda Riau Kompol R Firdaus, SH. Diskusi yang diikuti sekitar 400 peserta tersebut dipandu Pemimpin Redaksi GoRiau.com yang juga dosen Fikom UIR Hasan Basril.

Mexasai mengingatkan masyarakat untuk tidak memilih calon kepala daerah yang sudah terjerat atau berpotensi terjerat kasus hukum. ''Bila kita benar-benar menginginkan daerah ini maju, maka jangan pilih calon kepala daerah yang berpotensi terjerat hukum, apa lagi yang sudah terjerat hukum," ujar Sekretaris Program Pasca Sarjana Universitas Riau ini.

Pendapat senada disampaikan Ahmad Tarmizi Yusa. Menurut Tarmizi, dalam proses Pemilukada, masyarakat cenderung bersikap aji mumpung. ''Mereka berfikirnya begini, mumpung ada kesempatan mendapatkan keuntungan finansial dari calon kepala daerah, ya dimanfaatkan. Karena berdasarkan pengalaman, setelah Pemilukada selesai, pasangan yang terpilih sering melupakan janji-janji manis yang disampaikannya saat kampanye," kata Dekan Fikom UIR tersebut.

Tarmizi menegaskan, proses demokratisasi di Indonesia, termasuk di Riau, belakangan ini tidak semakin baik. ''Justru sebaliknya, semakin buruk. Buktinya, modal politik, termasuk mahar politik, yang harus dikeluarkan pasangan calon kepala daerah semakin mahal. Semakin rendah kualitas, integritas dan popularitas calon kepala daerah, maka akan semakin besar biaya politik yang harus dikeluarkannya untuk memenangkan pertarungan dalam Pemilukada," jelas dosen Program Pasca Sarjana UIR tersebut.

Sementara calon Wakil Bupati Pelalawan Abdul Anas Badrun mengaku tidak mengeluarkan biaya sepeser pun dalam mendapatkan perahu untuk maju pada pencalonan kepala daerah di Pelalawan. "Saya tidak mengeluarkan mahar sepeser pun, karena diusung oleh partai saya sendiri, yakni Demokrat," kata Ketua DPC Partai Demokrat Pelalawan itu.

Anas Badrun berjanji tidak akan melakukan politik uang untuk memenangkan pertarungan pada Pemilukada Pelalawan Desember mendatang. "Saya dan pasangan saya, Saudara Zukri, tidak akan melakukan politik uang. Kami hanya akan 'menjual' program-program pembangunan yang diyakini mampu memajukan Pelalawan dan mensejahterakan masyarakatnya," janji Anas Badrun.

Mantan Wakil Bupati Pelalawan tersebut juga berjanji tidak akan melakukan korupsi bila nanti dipercaya memimpin Pelalawan bersama Zukri. "'Kami berjanji tidak akan melakukan korupsi bila nanti terpilih. Kami juga berkomitmen memenuhi janji yang kami sampaikan kepada masyarakat," tegasnya.

Sedangkan Zulkifli mengungkapkan, Anas Badrun termasuk salah satu calon kepala daerah di Riau, yang belum pernah dilaporkan masyarakat ke Kejati Riau. "Sepengetahuan kami, Pak Anas Badrun ini termasuk calon kepala daerah yang belum pernah dilaporkan masyarakat ke Kejati terkait kasus korupsi," ujar Zulkifli.

Zulkifli menambahkan, menjelang pemilihan kepala daerah, biasanya kejaksaan banyak menerima laporan dugaan korupsi yang melibatkan calon kepala daerah. "Terkadang kasusnya sudah lama, tapi dicarikan momen Pemilukada melaporkannya ke Kejaksaan. Memang ada muatan politisnya, tapi kita tidak terpengaruh dengan motif politiknya itu. Kalau kita melakukan pengusutan, tujuannya untuk penegakan hukum, bukan mendukung kepentingan politik pihak tertentu," tegas Zulkifli.

Sementara R Firdaus memberikan penjelasan tentang jenis-jenis tindakan yang tergolong tindak pidana korupsi. ''Dengan memahami jenis-jenis tindak pidana korupsi ini, maka bisa disimpulkan, apakah calon kepala daerah atau kepala daerah bersangkutan telah melakukan korupsi," terangnya.

Terkait pelanggaran hukum dalam proses Pemilukada, kata Firdaus, tidak semuanya menjadi kewenangan kepolisan menanganinya. "Kalau pelanggaran itu terkait proses Pemilukada-nya, maka menjadi kewenangan Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu, red) menanganinya," jelasnya.has