PEKANBARU, GORIAU.COM - Dialog Budaya Melayu 2012 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Pekanbaru dari tanggal 3 hingga 5 Desember 2012, resmi ditutup. Selama acara berlangsung setidaknya ada sebanyak 15 makalah dibentangkan dan 3 orasi ilmiah disampaikan di hadapan peserta dari dalam dan luar negeri tersebut.

Dialog yang mengambil tema "Revitalisasi Kearifan Budaya Melayu, Kini dan Masa Datang", itu menghasilkan 10 rumusan persoalan tentang budaya Melayu dan 6 rekomendasi.

Saat dibacakan salah seorang tim perumus Aan Rukmana, Rabu (5/12/2012) saat acara penutupan, disebutkan bahwa 6 rekomendasi tersebut adalah pertama, perlu dilakukan revitalisasi seni dan budaya Melayu agar dapat selaras dengan perkembangan zaman.

Kedua, dalam rangka pelestarian dan pewarisan nilai-nilai budaya Melayu perlu diadakan langkah-langkah penyebarluasan, pendampingan, dan pengembangan., ketiga perlu ada penulisan bersama Sejarah Melayu di wilayah Asia Tenggara. Keempat, dalam rangka membangun keharmonisan masyarakat Melayu, perlu dilakukan dialog secara berkesinambungan.

Kelima, mendorong sinergi pemerintah daerah dan pemerintah untuk lebih mengoptimalkan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan budaya Melayu di daerah.

"Serta sebagai rekomendasi khusus untuk Provinsi Riau, untuk menghindari kerusakan lebih lanjut cagar budaya Melayu hendaknya di Provinsi Riau dibentuk lembaga pelestarian cagar budaya tersendiri," kata Aan Rukmana membacakan hasil rekomendasi.

Selain enam rekomendasi, tim perumus juga menyimpulkan 10 rumusan yaitu, pertama, terbentuknya masyarakat dan budaya Melayu serta diasporanya telah bermula sejak berabad-abad yang lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis, geologis, kronik, naskah lama dan sumber sejarah lain. Kedua, telah terdapat cukup banyak penulisan sejarah Melayu tetapi belum dipahami secara komprehensif oleh segenap bangsa Melayu.

Ketiga, berdasarkan kajian mutakhir antropologi ragawi dapat dikenali ciri-ciri kekhususan orang Melayu. Empat, Budaya Melayu yang berbasiskan alam maritim memiliki sifat terbuka dalam kemajemukan, nilai senasib sepenanggungan, religius, dan patuh terhadap nilai-nilai budaya lokal.

Kelima, Bahasa Melayu tidak hanya sebagai bahasa pengantar (lingua franca) dalam perdagangan tetapi juga menjadi bahasa intelektual khususnya sejak munculnya kesultanan Islam di bumi Nusantara, dan menjadi bahasa resmi di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Enam, Kesamaan aspek budaya di antara masyarakat Melayu, meski berbeda negara, dapat membangun keharmonisan dalam pergaulan bersama. Tujuh nilai budaya Melayu yang menjadi pedoman hidup masyarakat tempatan dewasa ini menghadapi tantangan globalisasi serta kepentingan politik lokal dan nasional.

"Delapan, akibatnya ekspresi karya budaya dan kesenian Melayu, seperti musik, sastra dan seni pertunjukan tradisional menjadi terabaikan. Sembilan, Tidak semua masyarakat Melayu di Asia Tenggara mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan budayanya. Serta terakhir, disiminasi budaya Melayu masih terbatas di tempat-tempat tertentu yang mengakibatkan kurang diketahui secara luas di antara masyarakat Melayu," katanya lagi.

Hasil rumusan dan rekomendasi ini diserahkan langsung kepada Direktur Sejarah dan Nilai Budaya Kemendikbud RI, Endjat Djaenudrajat. Endjat pihaknya akan segera menindaklanjuti semua hasil rekomendasi dan rumusan yang telah diterimanya tersebut.

"Rumusan ini patut disukuri karena itu akan kita tindaklanjuti lebih lanjut. Sehingga budaya Melayu kembali sejajar dengan budaya lain. Sumbangsih budaya Melayu sangat besar bagi bangsa ini, salah satunya adalah bahasa dan menjadikannya bahasa resmi di tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei," ujarnya.

Terkait salah satu hasil rekomendasi yaitu Riau perlu dibentuk lembaga pelestarian cagar budaya dipandang wajar oleh Endjat mengingat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batu Sangkar (Sumatera Barat) terlalu jauh untuk memantau cagar budaya yang ada di Riau. Saat ini Riau masih berada di bawah BP3 Batu Sangkar bersama Sumatera Barat dan Kepulauan Riau.

"Kalau sudah punya lembaga sendiri maka kontrol terhadap cagar budaya bisa dilakukan," tutupnya. (drc)