JAKARTA – Sebagai bagian dari upaya melemahkan perjuangan Soekarno atau Bung Karno, Pemerintah Kolonial Belanda mengasingkannya ke berbagai tempat, termasuk ke Bengkulu. Soekarno dipindahkan dari pengasingannya di Ende, Flores, ke Bengkulu pada 18 Oktober 1938. Bung Karno menjalani masa pengasingan di Bengkulu hingga 1942.

Saat pengasingan di Bengkulu itulah Soekarno bertemu dengan Fatmawati dan jatuh cinta kepadanya, hingga kemudian menikahinya. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia (RI) diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Soekarno diangkat menjadi Presiden pertama RI, dan Fatmawati yang merupakan istri Soekarno ketika itu praktis menjadi Ibu Negara pertama.

Soekarno adalah proklamator kemerdekaan Indonesia bersama Mohammad Hatta. Sementara, Fatmawati adalah penjahit Bendera Merah Putih, yang kita kita kenal sekarang dengan Bendera Pusaka.

GoRiau Soekarno bersama Fatmawati dan
Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur. (Liputan6.com)

Aktivis Muhammadiyah

Dikutip dari Liputan6.com, sebelum menikah, Seokarno dan Fatmawati adalah aktivis Muhammadiyah. Soekarno aktif di persyarikatan Muhammadiyah saat di Bengkulu. Sementara, Fatmawati memang lahir dari keluarga Muhammadiyah. Orangtua Fatmawati berasal dari Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Beranjak remaja, Fatmawati menjadi aktivis Aisyiyah. Dari forum-forum diskusi aktivis Muhammadiyah-Aisyiyah inilah, Soekarno bertemu dengan belahan jiwanya itu.

Fatmawati adalah putri dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah. Keduanya merupakan tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bengkulu.

Fatmawati merupakan istri ketiga Soekarno, setelah Siti Oetari Tjokoraminoto dan Inggit Ginarsih. Dua istri pertama telah diceraikan ketika Bung Karno menikahi Fatmawati.

Fatmawati lahir di kampong Pasar Malabero Bengkulu pada 5 Februari 1923. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu.

Hasan Din juga seorang pegawai perusahaan milik Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij). Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu. Sedangkan Ibu Siti Chadijah adalah aktivis ‘Aisyiyah Cabang Bengkulu.

Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Alquran pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam. Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya, terutama seni membaca Alqursn dan sangat supel dalam bergaul.

Kepintarannya membaca Alquran pernah ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936. Di bidang lainnya, Fatmawati tertarik pada filsafat Islam dan gender dalam Islam. Terlebih setelah Fatmawati menjadi aktivis Aisyiyah, sebuah organisasi dalam naungan Muhammadiyah.

Bung Karno Kepincut

Mengutip umy.ac.id, ketika beliau berumur 6 (enam) tahun , ia masuk Sekolah Gedang (sekolah rakyat), namun kemudian pindah ke HIS (Hollandsche Inlance School), sekolah berbahasa Belanda (1930).

Ketika duduk di kelas 3 (tiga), Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke HIS Muhammadiyah. Fatmawati sejak remaja sudah aktif di Muhammadiyah melalui Nasyi’atul Aisyiah/NA.

Fatmawati bertemu dengan Bung Karno dimulai tahun 1938. Saat itu, Bung Karno dipindahkan oleh Kolonial Belanda dari Pengasingan di Ende (Flores) ke Bengkulu. Bersamaan itu, keluarga Hasan Din pindah ke Bengkulu setelah 3 (tiga) tahun tinggal di Curup. Kepindahan ini karena hasrat Hasan Din untuk mengenal lebih dekat Bung Karno yang sangat dikaguminya itu.

Bung Karno ketika di Bengkulu aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatannya di Muhammadiyah inilah maka persahabatan keluarga Hasan Din dan Bung Karno semakin akrab.

Mereka saling berkunjung dan Fatmawati sering diajak ayahnya untuk bersilaturrahmi dengan Bung Karno. Pada masa itu, Bung Karno ditemani isterinya bernama Inggit Garnasih, wanita berasal dari Bandung dan anak angkatnya bernama Ratna Juami. 

Seperti diketahui, Fatmawati adalah sosok aktivis perempuan yang telah mempelajari hukum, filsafat, hingga gender dalam perspektif Islam. Karena itu, Fatmawati kerap diajak berdiskusi. Dari saling silaturrahmi yang semakin akrab inilah, lama kelamaan Bung Karno kepincut pada Fatmawati.

Menjadi Ibu Negara

Bung Karno kemudian ingin memperistri Fatmawati. Namun Fatmawati berkeberatan karena Bung Karno telah beristri Inggit Garnasih. Sedangkan Inggit Garnasih yang telah menikah 18 tahun belum ada tanda-tanda hamil.

Dalam perkembangannya dengan berbagai pertimbangan, Fatmawati menerima lamaran Bung Karno dengan syarat tidak mau dimadu. Maka secara baik-baik, Inggit diceraikan dan diserahkan kepada orang tuanya di Bandung. Akhirnya Fatmawati menikah dengan Bung Karno di Bengkulu tanggal 1 Juni 1943.

Sebagai isteri seorang pejuang, Fatmawati mendampingi Bung Karno yang sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati telah dikaruniai putra pertama yang diberi nama Guntur yang kemudian dikenal dengan Guntur Sukarno Putra.

Para petinggi Jepang saat itu menyambut gembira atas kelahiran putra pertama itu. Bahkan Jendral Yamamoto menyebut Guntur dengan nama Osamu. Saat itu, Fatmawati menyaksikan bendera Merah Putih berkibar pertama kali di Bumi Pertiwi. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati.

Ketika secara resmi Bung Karno diangkat sebagai Presiden RI yang pertama, maka otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara yang harus mendampingi Bung Karno dalam berbagai kegiatan resmi kenegaraan.

Dari pernikahan keduanya, lahirlah lima anak, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Fatmawati meninggal dunia pada 14 Mei 1980. (sumber: library.umy.ac.id dan literatur lainnya/ Tim Rembulan).***