SEJAK kecil hingga remaja, Mathieu Garvi rutin ke sekolah Minggu. Namun setelah remaja, Garvi mulai jarang ke gereja. Di akhir masa remajanya, dia bahkan hanyut dalam gaya hidup bebas.

Dikutip dari republika.co.id, menjelang usia 20 tahun, Garvi merasakan kehampaan dalam hidupnya. Saat itulah dia mulai berteman dengan seorang pria Muslim asal Maroko.

''Selalu ada semacam kekosongan di hati saya. Pada saat yang sama saya mulai kuliah di Prancis dan telah berteman dengan mahasiswa Maroko yang kebetulan Muslim,'' jelasnya.

Tetapi dia adalah seorang Muslim yang berbeda. Dia banyak memiliki teman-teman Muslim sebelumnya tetapi selain dari Ramadhan dan tidak makan babi, tidak ada yang istimewa tentang mereka. Namun teman yang satu ini berbeda, dia berkomitmen untuk shalat lima kali sehari, tidak pernah berbohong, tidak pernah mabuk-mabukan. Garvi mulai tergugah ketika melihat sikap temannya yang religius.

Suatu ketika dia dan temannya yang Muslim asyik bermain video game. Ketika waktu shalat tiba, temannya berhenti bermain. ''Kami sedang bermain video game dan dia berhenti dan berkata 'Saya akan kembali setelah shalat'. Dan kemudian saya pikir 'wow, dia berhenti di tengah hari untuk berdoa','' kata Garvi dilansir di khaleejtimes.com. Setelah mengenal teman muslimnya shaleh menjalankan agama, dia justru berusaha untuk mendalami agamanya yang lalu.

''Ini membuat saya mempertanyakan hidup, mungkinkah itu jawabannya? Saya mulai berhubung an kembali dengan agama Kristen dan mulai membaca Alkitab, tapi hanya menemukan banyak ketidaklogisan,'' jelasnya.

Dia menuliskan semua pertanyaan ketika membaca Alkitab, kemudian setelah berbulan-bulan penelitian, dia pergi ke gereja lokal untuk mendapatkan jawaban dari imam. Sebagian besar jawabannya hanya sebuah penolakan dan dia tampak tidak nyaman saat dihadapkan pada Alkitab dan tidak boleh menyangkalnya.

Dia mulai mencari agama lain. Dia mempelajari agama Yahudi, Budhisme dan akhirnya membaca Alquran. Awalnya dia berprasangka buruk terhadap Islam atau Muslim. Karena sebagian besar Muslim yang dia temui di masa lalu memiliki perilaku yang lebih buruk. Setelah selesai membaca Alquran dia kagum, dia yakin bahwa telah menemukan kebenaran dan memutuskan untuk memeluk Islam.

Inilah awal dia mengenal Islam. ''Saya mulai membaca Quran dan saya sangat yakin,'' jelasnya.

Garvi mengakui bahwa dia tidak memiliki keraguan. Dia menjadi Muslim di tahun 2011 saat usianya 21 tahun. Saat itu dia masih menempuh ujian persiapan sekolah bisnis di Lycee Ozenne, Prancis.

Setelah menjadi mualaf, dia kembali ke Prancis untuk kembali melanjutkan kuliahnya. Sebelumnya dia hanya lulusan Diploma di SMA Hilton. Baru kemudian dia melanjutkan sarjana dan pasca sarjana di ISC Paris hingga tahun 2015. Seperti mualaf pada umumnya, hari-hari pertamanya dilalui dengan rasa kesepian. Karena dia tidak memiliki teman dan keluarga untuk dapat beribadah bersama, tak terkecuali ketika Ramadhan tiba.

Tahun 2011 merupakan Ramadhan pertama. Berat baginya menjalani ibadah pada bulan suci di Prancis. ''Jujur, awalnya sedikit kesepian. Itu agak sulit karena keluarga saya tidak merayakan dan jadi saya sendiri pada saat itu,'' kata Garvi.

Selain tidak memiliki dukungan keluarga dan teman, waktu berpuasa di Prancis pun lebih lama dibandingkan negara lain. Di negara asalnya pun dia tidak memiliki teman untuk berbagi pengalaman atau sekadar berbagi pengetahuan tentang berpuasa dan ibadah apa saja yang dapat dilakukan selama Ramadhan.

Meski begitu, dia tetap berkomitmen untuk berpuasa dan bekerja seperti biasa. Sebenarnya, dia berharap ada orang lain yang memiliki pengalaman yang sama, sehingga hari-hari itu tidak dirasakan dengan berat.

Berpuasa bagi Garvi bukan sekadar masalah makanan dan perayaan tahunan. Tetapi lebih dalam, ini merupakan pengalaman spiritual setiap Muslim untuk lebih dekat dengan Allah. Ketika merasa sendiri, dia optimis dapat melaluinya dengan Allah. Tak ada keraguan sedikitpun setelah dia yakin untuk memeluk Islam.

Pria berkacamata dan berjenggot tebal ini meyakini bahwa Allah akan membantunya ketika masalah dan ujian datang. Dia mengakhiri Ramadhan dan menghabiskan Idul Fitri pertamanya dengan keluarga Maroko Muslim di Prancis. Dia mengatakan keluarga ini berbagi kisah mengenai Idul Fitri yang selalu dirayakan. Mereka juga menceritakan suasana Idul Fitri saat berada di negara Muslim.

Di tahun 2013 Garvi pernah mengikuti pertukaran mahasiswa di Univeritas Internasional Mesir untuk mempelajari bahasa Arab dan administrasi bisnis. Di sana dia pun memiliki pengalaman berpuasa di negara mayoritas Muslim.

Selama setahun dia berada di negara piramida itu. Kemudian dia kembali ke Prancis untuk meneruskan kuliah masternya. Setelah lulus, dia pun bekerja di beberapa perusahaan di Prancis.

Tercatat empat perusahaan yang pernah dia lamar dan bekerja di dalamnya. Namun, dia hanya bertahan satu tahun di setiap perusahaan. Dia pun memulai peruntungannya di Dubai, bekerja di sana sejak tahun 2016 hingga saat ini.

Ketika berada di Dubai, dia tak lagi berpuasa sendirian, selain sebagai negara mayoritas Muslim dia pun telah memiliki seorang istri yang menemaninya berpuasa bersama. Garvi kini merupakan seorang manajer pemasaran digital di Dubai.***