SUDAH saatnya ditegaskan kembali perbedaan antara pendidikan dan pengajaran. Dua kata tersebut jelas mempunyai perbedaan pengertian. Pendidikan menurut KBBI yaitu: ''Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.''

Adapun mendidik, yaitu memberi ajaran akhlak dan kecerdasan pikiran yang muaranya manusia berakhlak mulia.

Presiden Jokowi pada rapat terbatas tanggal 4 Juni 2020 menegaskan tentang pendidikan sebagai berikut; ''Pendidikan di Indonesia tetap harus mengutamakan pembentukan sumber daya manusia (SDM) unggul yang berkualitas serta berakhlak mulia, berkarakter nilai-nilai ke-Indonesiaan, yaitu Panca Sila dan UUD 45.'' Artinya, tujuan pendidikan kita (Indonesia) tidak sama dengan tujuan pendidikan di negara lain, terutama negara maju.

Di negara lain pada umumnya mengutamakan kompetensi atau hard skill, sedangkan kita mengutamakan akhlak dan adab atau soft skill. Kita teringat pemikiran Mahatma Gandhi, dia mengatakan; ''Ada tujuh dosa yang mematikan kehidupan umat manusia, salah satunya yaitu knowledge without character. Knowledge is power, but character is more.''

Kita kutip pula pernyataan Satrio Sumantri Brodjonegoro, guru besar ITB berkaitan dengan hard skill dan soft skill: ''Saya minta dosen kalau memberikan kuliah harus 60% soft skill dan 40% hard skill.'' Selanjutnya beliau mengatakan; ''Keberhasilan masa depan sangat ditentukan kualitas soft skill (komunikasi beradab).''

Salah satu penelitian di Amerika (Ali Ibrahim Akbar, tahun 2000) mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan 20% hard skill dan sisanya 80% soft skill. Bahkan orang-orang tersukses dunia bisa berhasil karena lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada hard skill.

Begitu penting akhlak dan character dalam kehidupan. Bagaimana di negeri kita, inilah yang menjadi permasalahan pendidikan. Jujur, bahwa saat ini memang banyak orang pintar, tapi minus akhlak, banyak orang berlagak alim tanpa integritas, hanya lagak dan gaya saja. Hal ini terjadi karena konsep pendidikan sudah melenceng jauh, hanya mengutamakan ajar dan mengejar ijazah.

Sebetulnya sudah sejak lama pakar maupun pemerhati pendidikan menginginkan bahwa pendidikan kita harus direvolusi total. Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengatakan; ''Saatnya reformasi pendidikan secara menyeluruh, termasuk penyelenggara pendidikan tinggi. Saat ini institusi pendidikan tak ubahnya seperti mesin pencetak ijazah yang kosong idealisme.''

Penyebabnya, kata Azwar Abubakar, bersumber dari guru, dosen dan penyelenggara pendidikan, dimana mereka kurang paham atau pura-pura kurang paham dengan konsep pendidikan. Mereka bermain dengan pengajaran yang dibungkus bisnis.

Dari segi kuantitas kita boleh bangga karena semakin banyak lulusan S2 Pendidikan (MPd). Namun kualitas dalam arti memahami betul konsep pendidikan nasional masih minim. We needs educators, not teacher only.

Semoga Menteri Pendidikan kita sekarang betul-betul dapat mengantarkan anak bangsa ini menjadi manusia-manusia cerdas yang berakhlak mulia, seperti yang diinginkan oleh UUD 45.

Jika tidak, akan menangislah Ki Hajar Dewantara seandainya beliau hidup saat ini. Wallahu a'lam.***

Drs H Iqbal Ali, MM adalah dosen, pemerhati pendidikan dan Ketua Dewan Pembina IKMR (Ikatan Keluarga Minang Riau) Provinsi Riau.