PEKANBARU - Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Riau (Unri), DR Erdianto Effendi SH, MHum menyebutkan keputusan majelis hakim yang membebaskan terdakwa perkara suap alih fungsi lahan di Provinsi Riau, yakni Legal Manager PT Duta Palma, Suheri Terta, merupakan hal yang wajar.

Erdianto menjelaskan, tentang bersalah atau tidaknya seseorang yang dihadapkan di muka sidang pengadilan, adalah berdasarkan keyakinan hakim, dan untuk sampai pada keyakinan itu, KUHAP menentukan bahwa hakim harus didukung minimal dua alat bukti.

Alat-alat bukti itu yang nantinya akan diperiksa di muka persidangan. Apakah alat bukti yang dihadirkan JPU dapat membuktikan dakwaannya.

Meskipun alat bukti cukup, tetapi tidak cukup meyakinkan hakim, maka alat bukti harus dianggap tidak memiliki kekuatan pembuktian.

"Alat bukti itu menurut Pasal 184 ada 5 yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Untuk disebut sebagai alat bukti yang sempurna, keterangan saksi minimal dua orang karena satu saksi bukan lah saksi," ujar Erdianto kepada GoRiau.com, Kamis (10/9/2020).

Dari situlah Erdianto menjelaskan kalau keputusan majelis hakim adalah hal yang wajar, sebab dari informasi yang diperoleh Erdianto dari sejumlah media mainstream, kalau JPU hanya mengajukan 1 saksi saja di muka persidangan.

"Berdasarkan berita tersebut bahwa hanya seorang saja yg memberikan kesaksian bahwa terdakwa memberikan suap, wajar jika hakim menjatuhkan putusan bebas," lanjutnya.

Lebih lanjut Erdianto menuturkan, jika JPU dari KPK berkeyakinan kalau Annas Maamun menerima suap dari PT Duta Palma, seharusnya JPU menghadirkan saksi-saksi lain yang bisa menguatkan dakwaan JPU terhadap terdakwa.

"Seharusnya JPU juga mengajukan saksi tambahan. Seandainya tidak ada saksi yang melihat, mendengar dan mengalami, JPU dapat mnghadirkan saksi yg mengetahui. Meski secara asas saksi yang sekedar mengetahui tidak dianggap sebagai saksi yang sempurna, Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 mengakui saksi yang mengetahui sebagai saksi," tutupnya.

Diberitakan sebelumnya, majelis hakim di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, memvonis bebas Legal Manager PT Duta Palma, Suheri Terta terdakwa perkara suap alih fungsi hutan di Provinsi Riau.

Vonis bebas disampaikan oleh majelis hakim yang diketuai hakim Saut Maruli Tua Pasaribu, itu pada agenda sidang putusan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, tepatnya di ruang sidang Prof R Soebekti, pada hari Rabu (9/9/2020). Dimana majelis hakim menyatakan seluruh dakwaan JPU terhadap Suheri Terta tidak terbukti.

"Membebaskan terdakwa dari tuntutan JPU," ujar Saut.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Suheri Tetra dengan tuntutan tahun 4 penjara dan denda Rp150 juta.

Dalam dakwaan JPU KPK, menyebutkan ada rencana memberikan uang Rp8 miliar kepada mantan Gubernur Riau, Annas Maamun. Dimana uang sebesar Rp3 miliar sebagai uang muka dan sisanya diberikan kepada Annas Maamun setelah RTRW disahkan menteri.

Dalam persidangan yang dilakukan secara daring itu, hakim juga menyampaikan, perkara ini bermula dari pengajuan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Riau oleh Annas Maamun kepada Menteri Kehutanan tahun 2014. Rencana ini membuat Surya Darmadi (tersangka) menemui Annas Maamun dan Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulher.

Surya Darmadi ingin kebun perusahaan yang berada di Kabupaten Indragiri Hulu, milik perusahaan Duta Palma Group dikeluarkan dari kawasan hutan dalam RTRW.

Lalu uang Rp 3 miliar diserahkan Suheri sebagai legal perusahaan melalui perantara Gulat Mendali Emas Manurung. Namun dalam persidangan, hanya Gulat yang menyatakan Annas menerima uang itu.

"Hal ini sudah dibantah terdakwa dan saksi lain tidak melihat adanya penyerahan uang itu," ungkap Saut.

Sementara Annas kata Saut, saat ditanyakan tidak mengingat apakah menerima uang karena dalam persidangan sering menyatakan lupa. Selain itu juga dengan rekonstruksi yang dilakukan karena tidak sesuai dengan keterangan para saksi.

"Satu keterangan saksi saja tidak cukup sebagai alat bukti dan tidak memenuhi unsur sebagaimana dakwaan JPU," tegas Saut. ***