Pagi dan Aku*** Biang lala berjejer, menyulam sarang lebah sebentuk spiral indah menawan, Tarian embun menyelidik titik gemericik sejuk, kontras di antara rangkulan resah pagi menusuk, berlumur tangis perempuan kampung udik mencekik
Pagi Hujan di hulu percepat kelam dan gemuruh gelak menemu bulir air di sudut kornea, bergelut darah penghabisan sesak nafas tercekat pangkal lidah, ini tubuh berlumur darah kian hari kian mengucur, menelan cinta sebiji zarah
Lagi aku tersandung, berlari kejar kejaran sampai menyembul merah di ufuk pagi di sudut semedi aku mati setengah tengkurap tertimbun pengap yang harap Bukittinggi, akhir tahun.
Padamu Zainab ''… untuk melewati badai Zainab Kita harus terus berjalan dan membawa dua hal Yakni cinta dan keyakinan (Buya Hamka)
Zainab, Jangan dikau berhenti menyentuh ku Ku butuh slalu ucap mu Karena ia bagai undang-undang bagiku Karena kadang suatu masa, Ku tersesat dalam lukah gelap ratapan Kadang ku menghakimi diri Ku takut tergelincir dari keyakinan ini Apakah alam ini bernazar pada diri ku Selalu menanggung cinta sepanjang hayat Dan kita mati dalam ketidakpernahan cinta yang bersatu Tolong, sentuh aku lagi Zainab Dalam tutur itu Agar ku tetap bisa tegak merobah takdir itu Zainab, Perlu dikau ketahui Meski banyak orang menghabiskan waktu Berziarah ketempat-tempat suci Berlama-lama di tempat karamah Zainab, kalau boleh aku minta Ku ingin menghabiskan hidupku bersama mu Membunuh sang bila dengan mu Mengimami raka’at mu Ku ingin mati terlebih dahulu dari pada diri mu Agar ku tak merasa kehilangan Zainab, Azamku tlah ku jatuhkan dalam tawakal diri Sudah perih tapak ini menjalani ** Agar Tuhan bergegas dalam ujung kesimpulan Ku kan tetap menjadi imam mu Meski kebersatuan menjadi mustahil Zainab, sebutlah dalam doa mu “Ya Tuhan, sampaikan kami dalam tepi iradat kami, Dan kami ikhlas dengan takdir mu Sabarkan kami dalam semua ini” Zainab, Bukankah itu tutur nan menyejukkan Mari kita rayu Tuhan Agar keinginan Tuhan dan keinginan kita Bersatu dalam ketunggalan kita Dari ku, Hamid *** Hamid, Kebersatuan ini tak ku mustahilkan Ketika rakaat ku dan rakaat mu terpisah, Ku tunggu hingga kau imami raka’at ku Ku kan tetap meratap pada bait itu. Padang, 2013
* Rahma Syukriah Sy, lahir di Bukittinggi 27 Februari 1989. Penyuka Sastra ini merupakan Konselor di RSI Siti Rahmah, Padang, Sumatra Barat. Aktif menulis puisi dan prosa.