Sampai Kapankah Polemik Sastra di Indonesia Berakhir? 

TIDAK adanya keterbukaan, keharmonisan, saling percaya dan tidak ada keinginan untuk menyatukan persepsi, sehingga sampai saat ini sastrawan-sastrawan besar di Indonesia terlihat saling menjatuhkan dan mau menang sendiri. Akibatnya, polemik berkepanjangan dalam tubuh sastra di Indonesia masih belum berakhir. Hingga perselisihan antar kubu terjadi dan tubuh sastra telah terkotak-kotak.

Mengingat begitu pentingnya sastra di Indonesia, persoalan ini bukanlah persoalan biasa. Namun sebagai seorang sastrawan besar dan menjadi yang terdepan dalam pergolakan sastra di Indonesia, seharusnya bisa menjadi contoh bagi generasi kami, penerus harapan bangsa di seluruh Indonesia untuk melanjutkan cita-cita bangsa yang bermartabat dan mulya.

Persoalan-persoalan karya, problema antar komunitas ataupun perorangan, seolah-olah menjadi sebuah tradisi dalam tubuh sastra di Indonesia. Seharusnya, berbagai persoalan tersebut tidaklah perlu dimunculkan dan dipanjang lebarkan serta dibiarkan begitu saja. Tapi mari lakukan rembuk dalam menyelesaikan persoalan tersebut dengan kepala dingin dan tangan terbuka.

Lebih kacau lagi, belakangan ini muncul problem dalam penentuan Hari Sastra Indonesia harus menjadi bahan rebutan antar kubu. Satu kubu, sebut saja kubu Taufiq Ismail dkk, menetapkan Hari Sastra Indonesia jatuh pada tanggal 3 Juli. Ada pula kubu, djoernal sastra boemipoetra beserta simpatisan menetapkan tanggal 6 Februari, sebagai Hari Sastra Indonesia yang sesungguhnya. Lantas manakah yang harus diikuti, tanggal 3 Juli ataukah 6 Februari? Jika semua kubu merasa yang paling benar.

Sejak beberapa pekan ini, di berbagai media online dan cetak, baik lokal maupun nasional, telah mengabarkan bahwa Hari Sastra Indonesia jatuh pada tanggal 3 Juli, sesuai dengan tanggal lahir sastrawan terkemuka Indonesia yakni Abdul Moeis. Ada juga yang menetapkan Hari Sastra Indonesia itu jatuh pada tanggal 6 Februari, sesuai tanggal lahir sastrawan terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Pada Minggu kemarin, seperti yang dilangsirkan kompas.com dan beberapa media online lainnya, (https://oase.kompas.com/read/2013/03/24/1950211/, Puluhan Sastrawan Hadiri Maklumat Hari Sastra Indonesia), mengabarkan bahwa Hari Sastra Indonesia ditetapkan tanggal 3 Juli. Dimana puluhan sastrawan, menghadiri Maklumat Hari Sastra Indonesia di SMAN 2 Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Beberapa di antaranya Taufiq Ismail selaku penggagas serta Rusli Marzuki Saria, Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, dan Prof. Dr. Puti Reno Raudhatuljannah Thaib.

Dalam maklumat tersebut, penetapan Hari Sastra Indonesia setiap tanggal 3 Juli itu dilakukan oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti. Tanggal 3 Juli dipilih berdasarkan hari kelahiran sastrawan terkemuka Indonesia, Abdoel Moeis pada 3 Juli 1883 silam.

Di sisi lain, beberapa hari sebelumnya, pada Jumat 22 Maret lalu di tempat berbeda, yaitu di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, Solo, Jawa Tengah, seperti yang dilangsir juga di beberapa media online, termasuk di Radar Seni, (https://radarseni.com/2013/03/23/djoernal-boemipoetra-deklarasikan-hari-sastra-indonesia/), puluhan sastrawan dan simpatisan dari beberapa daerah bersama djoernal sastra boemipoetra menolak usulan tanggal 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia dan mendeklarasi Hari Sastra Indonesia jatuh pada tanggal 6 Februari.

Dalam deklarasi tersebut, mereka dengan tegas menetapkan hari sastra Indonesia jatuh pada tanggal 6 Februari, berdasarkan hari lahir sastrawan terbesar Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yaitu pada tanggal 6 Februari 1925.

Deklarasi tersebut, dibacakan langsung oleh Wowok Hesti Prabowo, salah satu redaktur djoernal boemipoetra di depan ratusan simpatisan sastrawan, akademisi, pelajar dan mahasiswa dari beberapa daerah. Isi deklarasi tersebut, djoernal boemipoetra dan para sastrawan yang turut hadir dalam deklarasi itu, menolak hari sastra Indonesia berdasarkan tanggal lahir Abdul Moeis, yang digagas Taufiq Ismail dkk, karena, menurut mereka pengarang Abdul Moeis adalah anak dari Balai Pustaka yakni institusi penerbitan pemerintah kolonial Belanda.

Bagi para sastrawan, Pramoedya Ananta Toer adalah orang yang tepat untuk dinobatkan sebagai bapak sastra Indonesia. Sebab, bagi mereka, Pak Pram merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang karya-karyanya mengandung semangat kebangsaan Indonesia, anti kolonialisme, anti feodalisme dan bersifat kerakyatan.

Selain itu, Pramoedya Ananta Toer juga satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali dinominasikan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra. Dideklarasikannya Hari Sastra Indonesia ini sebagai wujud penolakan mereka atas gagasan Taufiq Ismail dan kawan-kawan yang tidak historis dan tidak menggambarkan realitas sastra Indoensia yang sebenarnya.

Melihat polemik seperti ini, manakah yang harus kami dengar dan ikuti? Apakah kami sebagai generasi penerus dijadikan sebagai domba yang manut digiring kesana kemari dengan arah dan kandang yang tak jelas. Adakah keinginan antara dua kubu ini bertemu untuk saling menyatukan persefsi, bertukar pendapat, duduk bersila guna menyelesaikan polemik ini?

TENTANG PENULIShttps://www.goriau.com/assets/imgbank/25032013/okejpg-70.jpgR Akhmad Dinedja, lahir pada 04 April 1989, di Lombok Timur, NTB. Menyelesaikan kuliah di STKIP Hamzanwadi Selong. Bergiat di Komunitas Rabu Langit (KRL) Lombok Timur. Aktif menulis puisi dan artikel pendidikan di bulletin Kapass. Pernah menjadi redaksi pelaksana Buletin GSC dan Indie Book Corner (IBC), Fotografer di Coimstudio. pernah menjadi wartawan Koran harian Radar Lombok dan penyiar di radio Srgap. Beberapa karyanya pernah dimuat media sastra dan tergabung dalam buku Antologi Puisi Kepompong Api (2012), buku kumpulan puisi Lelaki Pantai (2013), serta sedang menyusun buku penelitian tentang bendungan. Sekarang tinggal di Jogjakarta.