POLITISI Kampar, HM. Amin HS wafat di Rumah Sakit University Kebangsaan Malaysia. Kepergian tokoh berusia 74 tahun pada Minggu (4/1) pukul 08.00 Wib itu menyentak kita. Dia sahabat sekaligus guru yang rendah hati.

Penderitaan ternyata berbuah kenangan. Dua puluh tahun lalu (tahun 1995) entah apa yang mendorong HM. Amin HS melewati jalan terjal dan berkelok di Bukit Cadika, Bangkinang. Tak biasa putera kelahiran Kuok, Kampar itu lewat di sana setelah keluar dari kantornya di DPRD Kampar. Seperti biasa, Amin yang berangkat ke kantor menggunakan mobil jimmy katana warna putih, selalu mengambil jalan lurus menuju ke arah kantor Bupati Kampar yang berjarak sekitar satu kilo meter dari gedung DPRD. Di jalan inilah pegawai negeri dan warga selalu naik turun dari dan ke Bukit Cadika. Sementara jalan satu lagi yang terjal dan berkelok sepi dari pelalu lintas. Walau jaraknya lebih dekat menuju kota Bangkinang tapi bahaya selalu mengancam pengendara yang turun melewati jalan itu.

Siang itu. Usai Zohor selepas wawancara dengan Amin di gedung DPRD Kampar, Juni 1995, saya yang baru pertama melewati jalan bahaya itu terbawa arus untuk mencoba. Menaiki honda CG warna merah bersama Yusrizal Thamrin, iparnya Ahmad Fikri (Ketua DPRD Kampar), tiba-tiba dihantui ketakutan. Betapa tidak? Rem honda yang saya kendarai sontak bolong. Saya nyaris tak bisa mengendalikan kecepatan kendaran dalam suasana kalut dan ketakutan. Melewati tikungan kedua yang terjal dan berkelok, kami terpental sejauh sepuluh meter setelah roda depan honda menabrak pepohonan besar yang tumbuh di sana. Tak terasa lagi ada kehidupan. Tak sepatah katapun terucap dari mulut kami. Yang ada hanyalah rasa sakit yang luar biasa. Nafas sesak. Jangankan saling menolong, bergerak mengangkat tanganpun tak sanggup. Hari naas itu menjadi pengalaman berharga bagi kami. Dan, sejak peristiwa kejatuhan itu, saya insyaf mengendarai sepeda motor Pekanbaru-Bangkinang. Ada trauma mendalam dari peristiwa itu. Sepuluh menit tergeletak dalam keadaan lemah dan tak bertenaga, tiba-tiba lewat sebuah mobil jimmy warna putih bernomor polisi BM 7 F. Alhamdulillah mobil itu berhenti karena pemiliknya melihat kami sedang dirundung kesakitan. "Mengapo kalian," Amin Hs tiba-tiba menyapa kami setelah keluar dari mobilnya. ''Tolong kami Pak, rem honda bolong,'' menjawab Pak Amin.

Amin bergegas menolong kami, dan segera membawa kami menaiki kendaraannya. Lalu, setelah turun dari Bukit Cadika, ia menitipkan kami di rumah Nazaruddin, Sekwan DPRD Kampar. ''Pak Sekwan carikan tukang urut dan urus honda ananda ini di Bukit Cadika,'' perintah Amin kepada Nazaruddin. ''Baik Pak….,'' jawab Nazar sigap. Tak lama kemudian, tukang urut pun datang. Sepenggal sejarah hidup yang tak terlupakan itu, ternyata menjadi pembuka pintu akrabnya hubungan saya dengan Amin Hs. Perkenalan kami dimulai saat saya ditugasi Pemred GeNTA, Makmur Hendrik, menjadi Koordinator Liputan GeNTA Kampar. Yusrizal Thamrin adalah wartawan yang membantu saya di Bangkinang. Amin yang saya kenal adalah pendiri PPP Kabupaten Kampar, sekaligus ketua partai berlambang kakbah itu. Di DPRD, ia menjabat wakil ketua.

Sejak itu hubungan kami kian akrab tak ubahnya hubungan antara ayah dengan anak. Amin selalu saya jadikan nara sumber berita politik dimanapun saya menjadi wartawan. Tak sampai disitu, kedekatan hubungan kami melebihi dari hubungan wartawan dengan sumber berita, Setiap saya bertandang ke Bangkinang pasti saya sempatkan mampir ke rumahnya di Jalan M. Yamin. Baik untuk keperluan wawancara ataupun berdiskusi. Atau ngobrol ngalor ngidul. Dalam waktu tertentu, ayah tujuh anak ini juga sering menelpon. Awalnya menanya kabar, lama kelamaan cerita tentang politik. Begitupun sebaliknya. ''Politik itu adalah seni. Seni memainkan sebuah peristiwa. Ketika kita terlibat dalam peristiwa itu diperlukan keahlian berpolitik. Menyelesaikan "sengketa" politik tak ubahnya seperti kita menarik benang dalam tepung. Benang tertarik tepung tidak berserakan," kata Amin. Falsafah politik Amin itu saya akui telah membentuk karakter saya ketika saya menjadi anggota DPRD Kampar 2004-2009.

Amin memang piawai berpolitik. Dia tak punya musuh dan tak pernah dimusuhi oleh siapapun. Karier politiknya yang paling ''berharga'' dan tak pernah ia lupakan sampai akhir hayatnya, menurut Amin, adalah ketika ia membawa dan memperjuangkan Saleh Djasit menjadi Bupati Kampar. Saleh yang waktu itu bertugas di Bandung sebagai oditur militer diperjuangkannya untuk membangun Negeri Sarimadu. Bahkan memasuki periode kedua Saleh, Amin sempat menitipkan mobil jimmy katananya kepada saya di Pekanbaru karena ia harus berangkat ke Jakarta untuk urusan suksesi. Sepulang dari Jakarta, saya pun menjemput Amin ke Bandara Simpang Tiga, lalu mengantarkannya ke kediaman Gubernur Soeripto untuk mengikuti sebuah rapat penting. ''Pak Ripto menunggu saya di rumahnya sekarang. Jadi kita terus ke Jalan Diponegoro,'' perintah Amin waktu itu. Di rumah pembesar Riau itu, Amin sudah ditunggu A. Kadir Abbas (Ketua PPP Riau) dan Paris Ginting (Kaditsospol Riau). Amin terpilih menjadi anggota DPRD Kampar tahun 1971 sampai 1999. Ia pensiun dari dewan setelah reformasi. Walau tak lagi duduk di legislatif, suami Hj. Afrida ini tetap tak berhenti berpolitik. Dimana dan saat kapanpun, tema politik selalu menjadi kupasan menarik bagi Amin.

''Alam saya berpolitik berbeda dengan alam tuan-tuan. Sekarang era reformasi, semua dikontrol rakyat. Seorang politisi seakan berdiri di rumah kaca. Dari sisi manapun dilihat akan kelihatan. Karena itu berhati-hatilah. Jaga baik-baik amanah rakyat. Rakyat semakin kritis dan cerdas,'' pesan Amin satu hari ketika saya menjadi anggota DPRD Kampar.

Syahdan. Amin memang kaya pengalaman. Kaya pula bahan cerita. Bercerita dengan kakek dari 18 cucu ini takkan pernah habis. Ada saja kisah yang ia sampaikan. Banyak pula kata-kata kiasan dan bersayap yang mengalir dari bibirnya. Itulah sebabnya, saya menjuluki Amin sebagai politisi piawai dan "singa politik" Kabupaten Kampar. ''Dia sahabat yang baik, juga guru yang rendah hati,'' kata saya kepada kawan-kawan wartawan yang dekat dengan Amin di Bangkinang. Amin, memang dikenal dekat dengan wartawan, dan hampir semua wartawan senior di Pekanbaru diperlakukannya seperti sahabat dan keluarga. Misalnya Dheni Kurnia, Mulyadi, Fachrunnas MA Jabbar, Wahyudi El Panggabean, Fendri Jaswir, almarhum Saun Ahmad Saragih, almarhum Marasudin Sagala dan lain-lain. Bahkan, bersama saya, Amin menjadi fasilitator berdirinya PWI Perwakilan Kampar.

Berita duka atas kepergian Amin yang saya terima dari Moly Wahyuni, wartawan Riau Pos di Bangkinang, pada Minggu pagi, membuat saya kaget. Saya baru tahu dari media kalau ia sudah tiga minggu dirawat di Malaysia. Dan, kepergiannya membuat saya dan kawan-kawan, merasa kehilangan seorang sahabat, serta guru. Kehilangan seorang ayah yang peduli dengan politik, juga perkembangan kampung halamannya. Sedih. Saya tak bisa melayat dan hadir saat pemakamannya di Sungai Betung Kuok. Lebih sedih lagi, tanpa diduga dan direncanakan, ambulan yang membawa Amin dari Bandara Sultan Syarif Qasim II Pekanbaru menuju tempat peristirahatannya yang terakhir, ternyata ambulan milik BSKM Nurul Ibadah, masjid di depan rumah saya, dimana saya menjadi ketuanya.

''Selamat jalan Pak Amin. Warisan tunjuk ajar politikmu tak cuma kami kenang, akan menjadi pelecut bagi kami untuk kebaikan. Ya Rabb, jadikanlah dia termasuk golongan orang-orang yang berbuat kebaikan di sisi Engkau dan jadikanlah kebaikan itu dalam tingkatan yang tinggi, serta gantilah ia dengan golongan orang-orang yang pergi dengan ketaatan pada Mu, amiiin. ***

Syafriadi adalah Ketua SPS Cabang Riau