BENGKALIS, GORIAU.COM - Sebagian masyarakat pulau Bengkalis sedang dihadapkan pada kondisi yang kurang menguntungkan, terutama para petani karet. Hampir dua bulan terakhir, petani karet lebih banyak nganggunrya ketimbang menakik atau menoreh pohon karet mereka, karena musim penghujan. Tidak hanya soal musim penghujan, tapi juga harga karet yang jatuh ke level terendah membuat semangat petani memudar.

Kegundahan Mazlan (41) dan ratusan petani karet di Kecamatan Bantan dan Bengkalis semakin bertambah, ketika harga-harga kebutuhan dapur mulai meroket dampak kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah beberapa waktu lalu.

Sebagian petani karet ada yang mengadu nasib ke kota, menjadi buruh bangunan, sebagian lagi menjadi buruh serabutan, apapun pekerjaan dilakukan asal menghasilka dan halal. Sementara Mazlan dan petani lainnya terpaksa mengadu nasib ke negeri Ringgit Malaysia.

Berangkat ke Malaysia sebetulnya pilihan terakhir, ketika memang di negeri sendiri mereka dihadapkan pada kondisi serba sulit. ''Mau noreh musimnya hujan terus, harga ojolpun turun, cuma Rp 5.500-Rp 6000/Kg. Sebagian kawan mengadu nasib menjadi buruh bangunan di Bengkalis. Mumpung ada yang nawarkan kerja di Malaysia, kita ikut sajalah,'' ujar Mazlan, Minggu (30/11).

Manjadi buruh di negeri orang ada enak dan tak enaknya. Dibanding menjadi pekerja bangunan di kampung atau di kota (Bengkalis,red), hasil pekerjaan di Malaysia memang agak lebih lumayan. Tapi, tak semua mereka yang mengadu nasib ke Malaysia memperoleh pekerjaan, bahkan ada pula yang terpaksa berurusan dengan aparat kerajaan, karena menyalahgunakan pasport kunjungan dijadikan untuk mencari pekerjaan.

Tapi apa mau dikata, ketika musim serba tidak mendukung, apapun kesempatan akan dijalankan, walau mereka yang belum pernah memijakan kaki ke Malaysia sekalipun. Seperti Nawan (45) misalnya, sudah berpuluh tahun dirinya tak memijakkan kaki Malaysia, kerja-kerja beratpun sudah lama tak dilakoninya.

''Mau bagaimana lagi. Mau noreh musimnya hujan terus, harga karetpun murah, sementara anak butuh uang untuk sekolah. Ya mumpung ada yang ngajak ngadu nasib ke Malaysia, ya kita cubalah,'' ujar Nawan.Diakui Nawan, kondisi ekonomi sebagian masyarakat kampung khususnya petani karet memang sedang sulit-sulitnya. Selain harga karet yang jeblok, sejak dua bulan terakhir kondisinya juga sering hujan, sehingga petani karet tidak bisa bekerja. ''Ditambah lagi harga-harga melonjak naik akibat naiknya harga minyak, yang pasti kehidupan sebagian masyarakat semakin sulit,'' sebut Nawan lagi.

Beda dengan karet, sejak beberapa bulan terakhir harga buah pinang lumayan tinggi, beberapa waktu lalu harga pinang kering mencapai Rp 12000/kg, kini turun menjadi Rp 8000/kg. Harga segitupun cukup lumayan dibanding dengan harga karet, sayang tidak semua warga memliki pohon pinang.

Pemilik pohon pinang juga tidak perlu bersusah-susah menyabit (mengait) buah yang masih lekat di pohon, membelah, menjemur lalu ketika sudah kering dikeluarkan dari sabutnya. Karena sudah ada pembeli yang datang ke rumah-rumah, menyabit dan membeli buah pinang yang masih bulat dan basah.

''Harganya memang agak tinggi, 1 ember cat besar dibeli Rp 1000, sayang di kampung ini tdak ada yang berkebun pinang secara khusus, paling hanya menanam di sekeliling rumah atau tumbuh liar di kebun-kebun karet. Tapi alhamdulillah, cukuplah untuk menambah beli garam dapur,'' ujar Rahmah warga Kembung Luar.(jfk)