recall adalah kewenangan yang dimiliki konstituen untuk mengganti pejabat terpilih.

- Konstitusi Negara Bagian California

LINIMASA kehidupan bernegara diawali dengan suatu kontrak sosial. Individu-individu yang secara kolektif disebut rakyat melimpahkan haknya kepada satu komunitas. Tujuan dari pelimpahan hak tersebut adalah memastikan perlindungan bagi rakyat, para pelimpah hak itu. Konsekuensinya, rakyat harus mematuhi segala aturan yang dirumuskan. Rakyat sebagai pemberi amanah (trustor) diwajibkan patuh kepada pemerintah sebagai penerima mandat/amanah (trustee). Maka, dapat disimpulkan, kewenangan pemerintah bersumber dari mandat rakyat, dan kewajiban rakyat muncul dari mandat itu pula.

Barangkali pidato Sukarno di bawah ini merupakan satu fragmen yang brilian mengenai bagaimana para pendiri bangsa mencoba mencapai kesepakatan dalam kontrak sosial:

“Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschaung” yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanusi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita mencari semua satu modus. Tuan Yamin, ini bukan compromise, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.”

Onghokham dan Andi Achdian menyebut kalimat “kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui” merupakan kontrak sosial dalam rumusan modern. Sehingga terbentuklah lanskap mula-mula Negara Indonesia.

Lanskap negara yang dibentuk oleh mandat rakyat adalah esensi dari kedaulatan rakyat. Untuk mencegah absolute power, mandat tersebut dibagi menjadi tiga bagian: mandat eksekutif, mandat legislatif, dan mandat yudikatif. Maka, dimulailah perjalanan panjang bernegara. Mulai dari pemberian mandat hingga pertanggungjawaban.

Tulisan ini akan berfokus pada mandat yang diterima, dan pertanggungjawaban yang diemban oleh legislatif. Seperti halnya eksekutif, pejabat legislatif dipilih melalui proses pemilu. Berdasarkan Pasal 22E UUD 1945, rekrutmen anggota legislatif hanya dapat dilakukan melalui keanggotaan di partai politik (parpol). Sebagai infrastruktur politik, parpol berperan sebagai penghubung antara pemerintah negara dengan warga negara. Meskipun parpol memiliki agenda, AD/ART, dan program, namun, keterhubungannya dengan kader yang sedang duduk di parlemen tidak berarti si kader berada pada posisi subordinat. Pertanggungjawaban anggota parlemen sebagai kader parpol tidak lebih besar dan signifikan dibanding pertanggungjawabannya sebagai pelaksana mandat rakyat.

Parpol sebagai instrumen penghubung belaka memang konsep yang terasa asing dalam ketatanegaraan Indonesia. Secara normatif, demokrasi mengesampingkan kekuasaan parpol. Tetapi, secara yuridis, kekuasaan parpol di Indonesia bahkan melebihi kedaulatan rakyat. Pada Pasal 12 huruf (g) UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, kewenangan untuk mengganti anggota parpol di parlemen, atau yang disebut dengan Penggantian Antar Waktu (PAW) adalah hak parpol. Pola hubungan seperti ini pula yang pernah dikritik oleh Mohammad Hatta karena dianggap otoriter (Huda, 2011).

Beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah menggunakan konsep constitutional recall, yaitu mekanisme yang mengakomodasi hak konstituen untuk menarik perwakilannya di parlemen. Mekanismenya dengan menyelenggarakan referendum (recall referendum) oleh masyarakat apabila terdapat ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh parlemen.

Pada dasarnya PAW di Indonesia dan recall referendum di Amerika Serikat adalah fungsi kontrol terhadap kinerja anggota parlemen. Namun, PAW merupakan kuasa mutlak parpol, sedangkan recall referendum adalah manisfetasi kedaulatan rakyat. Barangkali, inilah jalan sunyi yang perlu ditempuh dalam perjuangan demokrasi di masa reformasi, yaitu mengubah secara konstitusional hak menarik keanggotaan di parlemen dari kekuasaan parpol kepada kedaulatan rakyat.

Prinsip hegemonial partai pada PAW ini pernah dikritik oleh Hatta, pada masa ketika praktik pemerintahan komando Presiden Sukarno periode 1959-1966. Peranan partai kemudian melemah pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Suharto. Tetapi, praktik hegemoni partai ini kembali menguat sejak masa Reformasi.

Hak recall partai kerap digunakan sebagai alasan untuk memberhentikan anggota DPR yang tidak tunduk pada kepentingan partai politik, sehingga menghambatnya untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Penyelesaian sengketa PAW di pengadilan pun cukup berbelit dan menyulitkan. Sehingga itu mengisyaratkan “duduk saja yang manis” dari parpol kepada anggotanya di parlemen, daripada harus melalui proses peradilan yang menyita waktu dan uang. konsep recall di Indonesia ini bahkan mengerucut kepada ketentuan ketua partai secara sepihak (Yahya dan Hufron, 2023). Ini merupakan bentuk nyata kesewenangan dalam demokrasi.

Lalu, apakah warga negara di Indonesia memiliki peluang untuk merebut kedaulatan lewat hak recall ini? Menurut penulis, peluang itu tetap ada. Meskipun itu berarti akan ada perlawanan hebat dari para elitis partai. Apalagi sedikit sekali masyarakat yang menyadari, bahkan lebih sedikit lagi yang concern atas agenda ini.

Cukup aneh juga mengapa pengalaman konstitusi di Indonesia lebih memilih format PAW yang rumit sangat untuk menarik anggota dari kedudukan parlemen, ketimbang model recall referendum di AS. Sebagai informasi, recall referendum di AS dimulai dengan mengajukan petisi. Jika petisi telah mencapai batas minimum (threshold), recall election diselenggarakan untuk menentukan suksesornya. Tetapi, jika berkaca pada pengalaman Amerika Serikat, mereka telah melakukan langkah progresif ini sejak permulaan dekade 1900an.

Tindakan progresif memerlukan pemikiran progresif. Untuk menghasilkan pemikiran progresif, input yang diperlukan adalah pendidikan dan pemberdayaan politik. Itu sebabnya penulis menyebut ini sebagai jalan sunyi. Karena di era new media ini, pengalaman entertainment di Youtube, Tiktok, atau Instagram lebih menarik. Sedangkan pendidikan dan pemberdayaan politik memerlukan interaksi nyata lewat dialog dan pengembangan diskursus berkelanjutan.

Mungkin itu sebabnya jika di beberapa platform online kedapatan gaya kampanye joged dan masak-masak lebih menarik daripada usaha dialog untuk menentukan isu kebijakan. Jika pola diskursus politik seperti itu tetap berlanjut, jangankan merebut kedaulatan, kesadaran kita tentang kedaulatan saja mungkin tidak akan pernah terbuka. ***

Disclaimer:

Saat ini  penulis adalah bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kabupaten Pelalawan yang dituntut untuk mengedepankan netralitas. Artikel di atas tidak ditujukan untuk menghasut, memengaruhi, dan/atau mendiskreditkan orang/sekelompok orang. Isi artikel merupakan opini pribadi yang didukung oleh beberapa pustaka, dan ditujukan sebagai bagian dari diskursus ilmu sosial dan politik.