PEKANBARU - Menyikapi tingginya jumlah konflik lahan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau, selama tahun 2016 sampai 2018, Sustainable Social Development Partnership (Scale Up) mendorong pemerintah pusat untuk segera menyusun regulasi terkait pembentukan unit resolusi konflik yang akuntabel dan transparan di daerah.

Direktur Scale Up, M Rawa Elamasdi mengatakan, bahwa Provinsi Riau merupakan salah satu daerah yang memiliki konflik Sumber Daya Alam (SDA) yang tertinggi se Indonesia. Berdasarkan riset, Scale Up mendata bahwa ada 185 konflik yang terjadi selama tahun 2016 sampai 2018.

Menurutnya, konflik yang terjadi di Riau saat ini adalah konflik sektor kehutanan dan konflik di sektor perkebunan dengan beberapa jenis permasalahan. 

"Untuk sektor kehutanan meliputi tumpang tindih perizinan, tanah ulayat dan non ulayat, akses kelola, ganti rugi, alih fungsi, tapal batas, okupasi. Untuk sektor perkebunan, jenis konflik seperti izin bermasalah, penyerobotan lahan, KKPA, perambahan hutan, pencemaran lingkungan, tumpang tindih, ganti rugi, tenaga kerja, tanah ulayat," kata M Rawa Elamasdi di Pekanbaru, Kamis (31/01/2019).

Ia juga menyayangkan persoalan ini. Sebab, dari sekian banyak kasus konflik SDA yang terjadi di Riau, pemerintah daerah terkesan lepas tangan. Karena terindikasi pemerintah daerah menyerahkan konflik dan sengketa lahan ke pemerintah pusat.

Padahal, tambah Rawa, Scale Up ingin pemerintah daerah menyelesaikan sengketa SDA di tataran kebijakan seperti adanya keterlibatan perusahaan, akademisi, pemerintah maupun masyarakat dan seluruh stakeholder terkait masalah konflik ini.

Ia menambahkan, dari 185 kasus sengketa SDA di Riau yang tertinggi terjadi di Kabupaten Pelalawan dengan jumlah 40 kasus. Kemudian, di Kabupaten Siak sebanyak 32 kasus.

"Untuk Kabupaten Kampar dan Rokan Hilir masing - masing terdapat 20 kasus dan Kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 18 kasus," pungkasnya. ***