PEKANBARU - Indonesia telah meratifikasi CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies flora dan satwa liar) guna mencegah perdagangan flora dan fauna dunia yang merugikan keragaman hayati serta membahayakan kelestarian tumbuhan dan satwa liar tersebut.

Dijelaskan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Indonesia mendelegasikan kewenangan pelaksanaan CITES pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai otoritas pengelolaan dan Pusat Penelitian Biologi-LIPI sebagai otoritas keilmuan. 

Menjadi pertanyaan mendasarnya, sejauhmana kepatuhan Kementerian LHK dalam melaksanakan CITES. Apakah sebatas (hilir) menerbitkan sertifikat layak ekspor kepada perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan, tanpa memandang dampak lingkungan di hulunya.

Sekumpulan aktifis di Riau menyayangkan bertebarannya sertifikat CITES yang melegalkan perusahaan penangkaran Arwana yang beroperasi di sekitar kawasan Pelestarian Alam Taman Hutan Raya Sultan Syarief Hasyim (TAHURA SSH) yang terletak 25 kilometer dari kota Pekanbaru, ibukota provinsi Riau ini.

Ketua LSM Jankar, Said Ahmad Kosasih, SH kepada GoRiau.com, Sabtu (31/10/2020) mengatakan, dampak dari beroperasinya beberapa perusahaan penangkaran arwana yang ada di sekitar Tahura SSH telah mengubah bentuk bentang alam yang berdampak terhadap ekosistem aslinya.

''Perusahaan-perusahaan di sekitar Tahura SSH dalam aktifitasnya telah merusak bentang alam dan merubah fungsinya sehingga menimbulkan dampak langsung atau tidak langsung terhadap kerusakan ekosistem Tahura itu sendiri,'' katanya.

Dijelaskan Said, kegiatan yang selama ini dianggap legal tersebut tentu akan diikuti oleh aktifitas-aktifitas lainnya tanpa terkendalikan. 

''Jangan heran jika banyak cukong dan masyarakat sekitar atau pendatang mengokupasi lahan di kawasan Tahura seperti terjadi sekarang ini. Kenapa? Karena ada pembiaran, pemerintah selama ini  tidak tegas melindungi ekosistem kawasan beserta kekayaan sumber daya hayatinya,'' tukasnya.

Demikian pula tidak sedikit satwa dilindungi ditangkapi, baik yang karena menyeberang dari habitatnya, atau yang dengan sengaja diburu untuk kepentingan hobi, tambahnya.

Hasil pengamatan LSM Jankar, disamping tidak tegas, mencoloknya lagi pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK juga patut diduga melahirkan kebijakan keliru dalam pemberian izin penangkaran arwana, terkhusus kepada PT Tambak Seraya Pratama.

''Ini baru satu temuan, kita akan lakukan kajian lagi bagaimana mungkin pemerintah melakukan pemutihan terhadap kawasan yang berdampingan langsung dengan Tahura SSH demi melegalkan kegiatan pebisnis arwana di sekitar Tahura SSH," imbuhnya.

Terkait ini, Said Ahmad Kosasih menegaskan bahwa pihaknya akan melayangkan surat somasi kepada Menteri LHK berikut jajarannya, dan meminta DLHK Riau untuk sementara waktu tidak meladeni keinginan PT Tambak Seraya Pratama dalam "lobi-lobi" izin pemanfaatan kawasan HPT Minas.

"Untuk sementara waktu kita minta DLHK Riau untuk tidak menerbitkan izin pemanfaatan kawasan HPT Minas kepada PT Tambak Seraya Pratama, menimbang adanya dugaan penyimpangan dalam pemberian izin sebelumnya. PR ini tentu harus diselesaikan dulu,'' pungkasnya. ***