Banda Aceh, di suasana pagi, matahari yang indah menyinari kota Banda Aceh, Aisya sudah berada di kampusnya, wajahnya terlihat bahagia, menikmati indahnya kota banda Banda Aceh, tapi hatinya terasa keresahan, mengingat sosok kak Syarief, ia sangat ingin berjumpa dengannya, sehingga hatinya berkata, “Andai saja kak Syarief masih ada di sisiku, sungguh beliau akan menyuruh saya untuk masuk ke pesantren, bukan ke sini.”

***

Pagi itu Syarief kembali ke rumah Bu Aini, ia ingin berterus terang kepada Bu Aini, tentang cita-citanya supaya Aisya masuk ke pesantren, beserta ingin memberitahu Bu Aini tentang cintanya kepada Aisya, ia tidak ingin harapan cinta yang ia idamkan dulu sirna di telan masa. Tiba di depan pintu rumah Bu Aini. “Assalamualaikum” ucapnya Namun tiada jawaban, maka ia pun mengulangnya, hingga tiga kali, tapi masih juga tidak ada yang jawab. Lalu ia pun menolak pintunya, ternyata terkunci, bertanda tiada seorang pun di rumah, maka ia pun memalingkan langkahnya dengan wajah yang terlihat sedih, dengan langkah tanpa gairah, ia berkata dengan lirih “Ya Allah, jika Engkau tidak menerima Do’aku, maka izinkan aku untuk bertemu dengan Aisya.” Ketika Syarief membuka pintu gerbang rumah Bu Aini, barulah ia dapati Bu Aini yang baru pulang dari pasar bersama barang belanjaannya di tangan kanan. Maka jantung Syarief pun memompa dengan sangat kencang, ia mencoba menekatkan diri untuk mengatakan kepada Bu Aini bahwa ia suka sama Aisya. “Ibu!” sapa Syarief pelan. “Syarief, ada yang ingin Ibu sampaikan, mari kita masuk!” potong Bu Aini. Syarief merasa kesal karena tadi hatinya sudah siap, tapi Bu Aini malah memotongnya, lalu ia pun memalingkan langkah untuk masuk ke rumah bersama Bu Aini. Tiba di dalam, Syarief duduk di ruang tamu, ia kembali menarik nafasnya dengan dalam untuk memberanikan diri kembali. Bu Aini pun menaruk barang belanjaannya di atas meja, dan duduk yang berhadapan dengan Syarief. “Bagaimana dengan Aisya?” tanya Bu Aini. Syarief kaget mendengar nama Aisya, lalu ia bertanya, “Ada apa dengan Aisya Bu?” “Semalam Ibu dapat kabar dari kakaknya Aisya, bahwa Aisya mau masuk ke pesantren MUDI Mesra Samalanga, ia tidak mau kuliah, tapi ia tidak berani mengutarakannya langsung kepada Ibu!” “Terus…?” “Bukan Ibu tidak mau, tapi Ibu takut kalau ia tidak bisa bertahan, tinggal di sini saja, ia selalu mengeluh, apalagi di sana, dan belajar di pesantren yang megah, itu sangat baik, tentu banyak ujian dan cobaan untuk mencapai kebaikan itu, jika ia masuk ke pesantren yang megah, sekurang-kurangnya ia harus bisa mengajar kitab gundul, Ibu tidak mau hanya setengah-setengah.” “Ia Bu, Syarief yakin, Aisya pasti bisa.” “Ya sudah nanti kita lihat, jika ia sudah pulang dari Banda Aceh!” jawab Bu Aini, lalu beliau bangun hendak menuju ruang belakang. Syarief juga menyusul dengan cepat, ia ingin mengutara kepadanya bahwa ia cintai Aisya. “Bu!” panggil Syarief. Bu Aini menghentikan langkahnya, dan menoleh ke arah Syarief di belakangnya, beliau melihat Syarief gemeteran, maka beliau pun bertanya, “Kenapa Syarief?” Sekujur tubuh Syarief terasa lemah, seakan-akan urat nadinya terputus, ia tak kuasa mengeluarkan kata-kata itu, sehingga ia berkata “Boleh saya ketemu sama Aisya?” Bu Aini merasa sayang kepada Syarief, sehingga beliau mengangguk senyum, dan berjalan kembali menuju ruang belakang. Sementara Syarief, ia pun pulang dengan perasaan sedikit kecewa, karena tidak berani memberitahu Bu Aini, bahwa ia mencintai keponakannya Bu Aini.