Esok harinya, Usai shalat subuh Syarief sudah siap dengan pakaiannnya yang bagus bersama sepatu hitam dan tas di pundaknya untuk berangkat ke kampus. Sesampai di sana ia langsung menuju kantin, yang terletak di depan gedung Tarbiyah kampusnya, untuk menikmati teh hangat di pagi hari, sambil membaca koran. Tiba-tiba datanglah salah satu teman Akrabnya, yaitu Ustaz Bukhari, tapi Syarief sering menyapanya dengan sapaan “Akhy”

“Assalamualikum Akhy” ucap Ustaz Bukhari. “Wa’alaikumsalam” jawab Syarief sambil bangun untuk memuliakan Ustaz Bukhari dan bersalaman dengannya. Lalu Syarief duduk kembali dan bertanya “Mau minum apa Akhy?” “Kopi saja.” jawab Ustaz Bukhari sambil melangkah menemui pemilik kantin untuk memesan kopi. Tak lama kemudian Ustaz Bukhari pun kembali, dan duduk di depan Syarief, maka Syarief berkata. “Akhy… sepertinya Aisya sudah lulus dari sekolahnya, tapi Ana khawatir, kalau ia akan melanjutkan perkuliahannya.” “Jadi maunya Akhy?” tanya Ustaz Bukhari. “Ya… seperti yang Ana ceritakan dulu sama Akhy, yaitu Aisya masuk ke pesantren” “Benar, temuilah Aisya, sebelum Akhy terlambat, bujuk dia supaya masuk ke pesantren” kata Ustaz Bukhari dengan sangat-sangat mendukung. “Tapi, bagaimana caranya Akhy, sedangkan Ana dengannya tidak boleh berjumpa, lagi pula dia bukan siapa-siapa bagi Ana” Tiba-tiba pemilik kantin mendekati mereka, untuk menyerahkan kopi Ustaz Bukhari. “Ini Ustaz!” kata pemilik kantin. “Ia, terima kasih!” jawab Ustaz Bukhari dengan senyuman. Lalu beliau kembali menoleh ke arah Syarief dan bertanya dengan suara kecil dan pelan. “Akhy mencintai Aisya?” “Ia, Ana mencintainya” “Berarti Aisya adalah cinta bagi Akhy, makanya pergilah, suruh Aisya ke pesantren” suruh Ustaz Bukhari. Syarief pun berfikir sejenak, bagaimana cara menemui Aisya ya? Sementara Ustaz Bukhari melihat Syarief seperti masih ragu-ragu, maka beliau  mencoba meyakininya dengan kata-kata. “Sekarang Akhy fikirkan, dulu Akhy pernah berkata sama Ana bahwa Akhy mendambakan wanita pesantren, sedangkan Akhy mencintai Aisya, kalau Aisya bukan anak pesantren, apakah Akhy harus mendustai hati Akhy, untuk memaksa diri mencintai wanita lain yang anak pesantren? atau Akhy harus mendustai kata-kata Akhy sama Ana dulu ? untuk memaksa diri mendambakan Aisya yang bukan anak pesantren? walau nantinya Aisya bukan jodoh Akhy, sukurang-kurangnya Akhy sudah berkorban menyelamatkan orang yang Akhy cinta dari arus kehidupan yang bebas dan dekat dengan fitnah dunia.” Mendengar kata-kata Ustaz Bukhari, Syarief mulai yakin sambil berfikir dengan dalam, lalu ia menjawab, “Benar... besok Ana akan menemui Aisya” Mendengar kata-kata itu, Ustaz Bukhari sedikit senang, namun banyak takutnya, sehingga beliau berfikir “Kenapa saya menyuruhnya menemui Aisya? Kalau terjadi apa-apa saya yang berdosa”. Sementara Syarief, ia sudah nekat untuk menemui Aisya. “Akhy... terimakasih atas sarannya, mari kita masuk!”  ajak Syarief dengan hati senang. “Ia, tapi sebentar, habisin kopi dulu!” Setelah pembicaraan mereka selesai, maka mereka pun menuju ruang belajar mereka, yaitu gedung Tarbiah. Sambil berjalan, Ustadz Bukhari kembali berkata, “Oia Akhy, tujuan kita hanya menyelamat Aisya, bukan untuk mencari dausa, Akhy bisa mengerti?” “Ia, ngerti kok Akhy, jaga pandangankan?” “Ia, ia,” Tiba dalam ruangan, Syarief dan teman-teman lainnya pun belajar bersama dosen mereka, yang kebetulan hari itu mereka belajar 3 mata kuliah, yaitu Fiqh, Tafsir, dan Ilmu Bayan, yang menghabiskan waktu hingga pukul 1 siang, lalu mereka keluar dan menuju musala, untuk melakukan Shalat Dhuhur. Selesai Shalat, Syarief keluar bersama Ustaz Bukhari untuk pulang, sambil berjalan, Syarief berkata. “Oia, Ana mau pulang kampung, jadi besok Ana gak masuk kuliah, dan lusa kita gak ada mata kuliahkan ? “Ia Akhy, semoga Akhy berhasil” Tiba di halte, Syarief langsung ke mobil yang dari tadi menunggunya. Begitu pula Ustaz Bukhari pun pulang yang berbeda arah dengannya.