PEKANBARU - Mencermati berbagai indikasi dugaan maladministrasi perizinan maupun perusakan lingkungan hidup dengan beroperasinya perusahaan penangkaran dan perdagangan arwana (familia Osteoglossidae) atau dikenal ikan kahyangan di penyangga ekosistem kawasan pelestarian alam Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarief Hasyim.

Beberapa aktifis lingkungan mengingatkan Gubernur Riau untuk tidak melakukan Memorandum of Understanding (MoU) atau perjanjian kerjasama pemanfaatan kawasan hutan dengan perusahaan penangkaran arwana dimaksud berdasarkan Pergubri Nomor 53 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan di provinsi Riau, dimaksudkan guna mendorong dilakukannya perjanjian kerjasama pemanfaatan kawasan hutan untuk mengisi pundi-pundi daerah melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Penegasan ini disampaikan Ketua LSM Jankar, Said Ahmad Kosasih, SH, Sabtu (28/11/2020). Menurutnya, perusahaan-perusahaan penangkaran arwana yang ada di penyangga ekosistem Tahura SSH telah merubah bentuk bentang alam dengan mengkonversi hutan alam tanpa izin.

Tak cukup sampai di situ, perusahaan penangkaran Arwana seperti PT Salmah Arwana, PT Tambak Seraya Pratama dan sekitarnya juga membendung (dam) sungai Takuana sebagai sumber air dari alam untuk kebutuhan ratusan kolam atau tambak penangkaran arwana yang mereka bangun di hamparan seluas ratusan hektar tanpa kajian atau analisis dampak lingkungan sejak lahirnya UU nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diikuti PP nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal hingga mengalami perubahan menjadi UU nomor 32 Tahun 2009 dan PP 27 Tahun 2012.

Akibatnya, aliran sungai Takuana menyebar membentuk waduk dangkal tak beraturan yang kemudian dimanfaatkan oleh pengusaha arwana sebagai cadangan air bagi hamparan perkebunan kelapa sawit yang sengaja mereka bangun guna membentengi waduk tersebut.

"Artinya, hak yang melekat pada manfaat kekayaan sumberdaya alam yang seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, telah mereka ambil alih dan kuasai dengan semena-mena didukung segelintir oknum yang mengambil manfaat darinya," ujar Said Ahmad.

Guna diketahui, sungai Takuana adalah sumber mata air asli pegunungan yang mengalir dari celah-celah bukit yang terdapat di rerimbunan hutan primer (primary forest) yang saat ini dipertahankan dengan status Hutan Pelestarian Alam (HPA) Taman Hutan Raya (Tahura) yang diberi nama Tahura Sultan Syarief Hasyim seluas 6.172 hektar.

Sungai Takuana mengalir jauh, di hulunya seperti jemari membentuk anak-anak sungai kemudian menumpahkan air bersih ke sungai Tapung dan sungai Siak yang selama berabad-abad dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan masyarakat asli Riau, khususnya yang berada di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Siak. Namun oleh para cukong sawit telah merusak Tahura menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.

"Saat ini Tahura yang berhutan hanya tersisa sepertiganya saja atau seluas lebih kurang 2.000 hektar. Kondisinya dari hari ke hari terus mendapat tekanan deforestasi dari segala penjuru tanpa mampu dicegah, karena saat ini negara tidak punya uang operasional untuk mencegahnya, apalagi memberantas para pelakunya, sungguh miris," katanya.

Kejahatan pengusaha arwana dan cukong sawit di sini juga mengakibatkan hilangnya kekayaan sumber daya alam berupa keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi.

"Negara dirugikan ratusan triliun ulah kejahatan ekologis ini, dan butuh waktu ratusan tahun untuk memulihkanya," imbuhnya. ***